S. Sudjojono lahir di Kisaran, Sumatera Utara 14 Desember 1913, dan wafat  di Jakarta 25 Maret 1985. Soedjojono lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa. Ayahnya, Sindudarmo, adalah mantri kesehatan di perkebunan karet Kisaran, Sumatera Utara, beristrikan seorang buruh perkebunan. Ia lalu dijadikan anak angkat oleh seorang guru HIS, Yudhokusumo. Oleh bapak angkat inilah, Djon (nama panggilannya) diajak ke Jakarta (waktu itu masih bernama Batavia) pada tahun 1925. Ia menamatkan HIS di Jakarta, lalu melanjutkan SMP di Bandung, dan menyelesaikan SMA di Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Di Yogyakarta itulah ia sempat belajar montir sebelum belajar melukis kepada R.M. Pringadie selama beberapa bulan. Sewaktu di Jakarta, ia belajar kepada pelukis Jepang, Chioji Yazaki.

S. Sudjojono sempat menjadi guru di Taman Siswa seusai lulus dari Taman Guru di perguruan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara itu. Ia ditugaskan oleh Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Banyuwangi, tahun 1931. Namun ia kemudian memutuskan untuk menjadi pelukis. Pada tahun 1937, ia ikut pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Jakarya, Jakarta. Inilah awal namanya dikenal sebagai pelukis, Pada tahun itu juga ia menjadi pionir mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Oleh karena itu, masa itu disebut sebagai tonggak awal seni lukis modern berciri Indonesia. Ia sempat menjabat sebagai sekretaris dan juru bicara Persagi. Selain sebagai pelukis, ia juga dikenal sebagai kritikus seni rupa pertama di Indonesia.

Lukisanya memiliki karakter Goresan ekspresif dan sedikit bertekstur, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas, pada periode sebelum kemerdekaan, karya lukisan S.Sudjojono banyak bertema tentang semangat perjuangan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajahan Belanda, namun setelah jaman kemerdekaan kemudian karya Lukisanya banyak bertema tentang pemandangan Alam, Bunga, aktifitas kehidupan masayarakat, dan cerita budaya.

Dan inilah karya-karyanya.


"Ngaso" by S. Sudjojono, Size: 140cm x 100 cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1964

 

"Pertemuan di Tjikampek yang Bersedjarah" by S. Sudjojono, Size: 104cm x 152 cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1964


"Kami" by S.-Sudjojono, Auction by Sotheby's Hongkong

 

"Pelabuhan Tanjung Priok" by S.Sudjojono, Auction by Sotheby's Hongkong


Didalam kampung" by S.Sudjojono, Medium: Oil on canvas, Size: 130cm x 150,5cm, Year: 1950


 "Didepan kelambu terbuka" by S.Sudjojono, Medium: Oil on canvas, Size: 86cm x 66cm



 "Kawan-kawan revolusi" by S.Sudjojono, Medium: oil on canvas, Size: 95cm x 149cm



"Mengungsi" by S.Sudjojono, Medium: oil on canvas, Size: 104cm x 144cm, Year: 1947


 "Potret Seorang Tetangga" by S.Sudjojono, Medium: Oil on Canvas, Size: 120,5cm x 151cm, Year: 1950


"Seko (perintis gerilya)" by S.Sudjojono, Medium: oil on canvas, Size: 173,5cm x 194cm



"Figur lelaki" by S.Sudjojono, Size: 55cm x 45cm, Medium: oil on canvas, Year: 1976



 "Still life" by S.Sudjojono, Medium: oil on board, Size: 74,5cm x 54,5cm, Year: 1963
Hendra Gunawan lahir di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1918, dan Wafat di Denpasar, Bali. 17 Juli 1983.
Hendra Gunawan adalah seorang pelukis, penyair, pematung dan pejuang gerilya. Selama masa mudanya ia bergabung dengan tentara pelajar dan merupakan anggota aktif dari Poetera (Pusat Tenaga Rakyat) dan organisasi yang dipimpin oleh Sukarno dan lain-lain. Ia juga aktif dalam Persagi (Asosiasi Pelukis Indonesia, sebuah organisasi yang didirikan oleh S. Soedjojono dan Agus Djaya pada tahun 1938.

Hendra Gunawan memiliki komitmen dalam pandangan politiknya, mengabdikan hidupnya untuk memerangi kemiskinan, ketidak adilan dan kolonialisme. Dia dipenjara di Kebon Waru atas keterlibatannya di Institut Budaya Populer (Lekra), sebuah organisasi budaya yang berafiliasi dengan komunis sekarang sudah tidak berfungsi, Partai Indonesia (PKI). Penahanan Hendra Gunawan selama 13 Tahun dimulai pada tahun 1965 hingga tahun 1978. Selama di dalam penjara beliau tetap aktif berkarya membuat lukisan bertema tentang kehidupan masyarakat pedesaan pada jamanya, seperti: Panen Padi, berjualan buah, kehidupan nelayan, suasana panggung tari-tarian, dll. Hampir disemua Lukisanya berlatar belakang alam.

Dengan talenta sebagai seorang Pelukis senior dan memiliki karakter karya Lukisan yang khas, menjadikan namanya masuk dalam daftar Pelukis Maestro Legendaris ternama Indonesia.

Karakter Lukisan beliau sangat berani dengan ekspresi goresan cat tebal, dan ekspresi warna kontras apa adanya, karya Lukisanya banyak dikoleksi oleh para kolektor dalam negeri. Perjalanan Aliran Lukisan karya Hendra Gunawan pada awalnya adalah realism yang melukiskan tema-tema tentang perjuangan sebelum kemerdekaan, namun setelah era kemerdekaan, karya-karya lukisan ber metamorfosa kedalam aliran lukisan ekspresionism, tema-tema lukisanya tentang sisi-sisi kehidupan masyarakat pedesaan. Inilah salah satu karya Hendra Gunawan.


Bisikan Iblis karya lukisan Hendra Gunawan




Perempuan Menjual Ayam karya lukisan Hendra Gunawan

Affandi Koesoema (Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei 1990) adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya dan romantisme yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.

Biografi lengkapnya
Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri.

Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.

Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.

Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.

Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.

Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.

Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang dirantai tapi rantainya sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.

Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.

Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.

Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.

Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.

Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.

Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Keruan saja semua tertawa.
Potret diri Affandi diabadikan dalam perangko Indonesia seri Seniman Indonesia tahun 1997.

Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.

Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.

Pelukis: Affandi
Tahun karya: 1981
Judul : "Kebun Cengkeh"


Pelukis: Affandi
Tahun karya: 1979
Judul : "Ayam tarung"

 Lukisan “Perahu dan Matahari (Badai pasti berlalu)”




Basoeki Abdullah lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 Januari 1915 – meninggal 5 November 1993 pada umur 78 tahun, dia merupakan salah satu pelukis maestro yang dimiliki Indonesia.Ia dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis. Ia pernah diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta dan karya-karyanya menghiasi istana negara dan kepresidenan Indonesia, karyanya juga koleksi oleh para kolektor dari berbagai penjuru dunia.

Bakat melukisnya terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suryo Subroto, yang juga seorang pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal tahun 1900-an yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak umur 4 tahun Basoeki Abdullah mulai gemar melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus dan Krishnamurti.

Pendidikan formal Basoeki Abdullah diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo. Berkat bantuan Pastur Koch SJ, Basoeki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa untuk belajar di Akademik Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya dalam waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA).

Pada masa Pemerintahan Jepang, Basoeki Abdullah bergabung dalam Gerakan Poetra atau Pusat Tenaga Rakyat yang dibentuk pada tanggal 19 Maret 1943. Di dalam Gerakan Poetra ini Basoeki Abdullah mendapat tugas mengajar seni lukis. Murid-muridnya antara lain Kusnadi (pelukis dan kritikus seni rupa Indonesia) dan Zaini (pelukis impresionisme). Selain organisasi Poetra, Basoeki Abdullah juga aktif dalam Keimin Bunka Sidhosjo (sebuah Pusat Kebudayaan milik pemerintah Jepang) bersama-sama Affandi, S.Sudjoyono, Otto Djaya dan Basoeki Resobawo.

Di masa revolusi Bosoeki Abdullah tidak berada di tanah air yang sampai sekarang belum jelas apa yang melatar belakangi hal tersebut. Jelasnya pada tanggal 6 September 1948 bertempat di Belanda Amsterdam sewaktu penobatan Ratu Yuliana dimana diadakan sayembara melukis, Basoeki Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan berhasil keluar sebagai pemenang, sejak itu pula dunia mulai mengenal Basoeki Abdullah, putera Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia. Selama di negeri Belanda Basoeki Abdullah sering kali berkeliling Eropa dan berkesempatan pula memperdalam seni lukis dengan menjelajahi Italia dan Perancis dimana banyak bermukim para pelukis kelas Dunia.

Basoeki Abdullah terkenal sebagai seorang pelukis potret, terutama melukis wanita-wanita cantik, keluarga kerajaan dan kepala negara yang cenderung mempercantik atau memperindah seseorang ketimbang wajah aslinya. Selain sebagai pelukis potret yang ulung, diapun melukis pemandangan alam, fauna, flora, tema-tema perjuangan, pembangunan dan sebagainya.

Basoeki Abdullah banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain karyanya pernah dipamerkan di Bangkok - Thailand, Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal dan negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang pernah disinggahi untuk pameran karya lukisanya. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya beberapa tahun menetap di Thailand, dan sejak tahun 1974 Basoeki Abdullah menetap di Jakarta, diangkat sebagai pelukis Istana Merdeka.



"Flower" by Basuki Abdullah, Size: 55cm x 70cm, Medium: Oil on canvas

"Horses" by Basuki Abdullah, Size: 100cm x 150cm, Medium: Oil on canvas

"Lady with Kebaya" by Basuki Abdullah, Size: 113cm x 76cm, Medium: Oil on canvas

"Landscape" by Basuki Abdullah, Size: 50cm x 80cm, Medium: Oil on canvas

"Wonderful manners" by Basuki Abdullah, Size: 65cm x 80cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1981


"Anak nakal" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 90cm x 60cm


"Balik ke Alam" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 180cm x 65cm

"Dalam sinar Bulan" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on canvas, Size: 80cm x 120cm

"Diponegoro memimpin pertempuran" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size:150cm x 120cm

"DR.IR.Soekarno Presiden RI" by Basuki Abdullah, Medium: Conte diatas kertas, Size: 43cm x 40cm

"DR.Ir.Soekarno Presiden RI" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 149cm x 94cm

"DR.Ir.Soekarno" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 111cm X 75cm

"Fajar" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 100cm x 200cm

"Gadis Arab" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 90cm x 60cm

"Gadis Bali membawa bakul" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on canvas, Size: 56cm x 44cm

"Gadis Bali" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Board, Size: 50,5cm x 68cm

"Gadis Bertopang dagu" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on canvas, Size: 95cm x 80cm

"Gadis Birma dengan payung" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 69cm x 89cm

"Gadis dibawah sinar Bulan purnama" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on canvas, Size: 119,5cm x 119,5cm

"Gadis Sederhana" by Basuki Abdullah, Medium: oil on Canvas, Size: 50cm X 75cm

"Gadis Solo-Jawa Tengah" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 65cm x 44,5cm

"Gadis Sunda" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 90cm x 65cm, (Jawa Barat 1951)

"Gadis Thailand" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 76cm x 100cm

"Gatut kaca dengan anak-anak Arjuna, Prigiwa dan Prigiwati" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 170cm x 255cm



"Jaka Tarub" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 170cm x 255cm

"Jika Tuhan murka" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on canvas, Size: 200cm x 300cm

"Kawanan kerbau" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 50,5cm x 68cm, Year: 1942

"Laut nan Damai" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 80cm x 120cm

"Menyisr Rambut" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 100cm x 70,5cm

"Merangkai Bunga" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 84cm x 97cm

"Ngarat-Minangkabau" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 95cm x 140cm

"Nyai Loro Kidul" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on canvas, Size: 159cm X 120cm

"Ombak samudera" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on canvas, Size: 95cm x 148cm

"Pakaian Wayang Tiongkok" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 95cm x 115cm

"Panen" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 70cm x 80cm

"Pantai Flores" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 117cm X 180cm

"Pemandangan di Kintamani-Bali" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on canvas, Size: 78,5cm x 130,5cm

"Pemandangan" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 170cm x 255cm

"Peperangan antara Gatutkaca dan Antasena" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 200cm x 300cm

"Perkelahian antara Rahwana dan Jatayu memperebutkan Shinta" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 160cm X 120cm

"Potret seorang Gadis" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 65cm X 80cm

"Potret Seorang Gadis" by Basuki Abdullah, Medium: Pastel on paper, Size: 65cm x 48cm

"Potret seorang gadis" by Basuki Abdullah, Medium: pastel on paper, Size: 66cm X 51cm

"Potret Seorang Nyonya" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on canvas, Size: 200cm X 100cm

"Puteri berpakaian hitam" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 130cm x 200cm

"Rambut nan terurai" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 49cm x 63cm, Year: 1958

"Senja" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 100cm X 200cm

"Seorang Mahasiswi" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 60cm x 80cm

"Sepotong kain merah" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 80cm x 120cm, Year: 1960

"Tari Kebyar" by Basuki Abdullah, Medium: water color on paper, Size: 74,5cm X 54,5cm, Year: 1952

"Tarian Muang thai" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on canvas, Size: 80cm X 120cm

"Telaga Toba diwaktu senja" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 98,5cm x 249cm

"Telanjang" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 80cm X 120cm

"Upacara pembakaran jenazah di Bali" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 92cm x 70cm

"Wanita Solo" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 75cm X 100cm

"Wanita Spanyol" by Basuki Abdullah, Medium: Oil on canvas, Size: 80cm X 100cm

"Ibu dan anak" by Basuki Abdullah, Medium: oil on canvas, Size: 100cm x 75cm, Year: 1992

Back to top